Minggu, 13 Mei 2012

LPJ RAKER

[INFO] [KEGIATAN] [KMSI] KMSI mengadakan rapat mengenai pembahasan Lembar Pertanggungjawaban kepengurusan periode 2010/2011 dan Rapat Kerja kepengurusan baru periode 2011/2012 yang diadakan pada tanggal 12-13 Mei 2012 di Ruang A3.9 FIB UNDIP. LPJ dan Raker ini merupakan tolak ukur bahkan cerminan keberhasilan untuk masa periode KMSI selanjutnya. kegiatan ini terbilang tidak terlalu formal walaupun diisi dengan kritikan, sanggahan, saran, perubahan, dan kesepakatan.


 

Senin, 02 April 2012

Mau Dibawa Kemana Sastra Kita?

Artikel berikut ini menjadi bahan diskusi para anggota KMSI-FIB-UNDIP dan HIMA BSI-UNNES, pada saat acara studi banding di UNDIP hari Selasa (27/3) lalu.

Mau Dibawa Kemana Sastra Kita?

Berpikirlah ketika seseorang pernah berkata kepada kita, "Wow, Sastra Indonesia ya? Ah sebagai mahasiswa Sastra Indonesia tentunya kamu memiliki wawasan seputar sejarah mulanya sastra di Indonesia, tata penulisan yang benar dan pasti kamulah seorang kutu buku yang handal. Dengan bacaan-bacaan karya-karya sastra dari jaman ke jaman pastilah telah juga membuka pengetahuanmu untuk ikut berkontribusi membuat karya-karya sastra semacam itu. Terlebih kamu bernaung di bawah universitas ternama di Jawa Tengah. Oh, bukan main hebatnya kamu di antara calon-calon sarjana sastra di universitas lain". Secara nyata, beberapa kata-katanya memang sedikit menggelitik dan menguji ilmu kita embel-embel almamaternya, kita jadi semakin tersentak untuk membenarkan sekaligus memberi wujud bukti kepada publik.

Di samping itu, muncul pertanyaan lain berupa, "Mengapa kamu kuliah di Sastra Indonesia? Tidakkah lebih baik jika itu Sastra Inggris? Ya, atau apalah jurusan lain yang lebih internasional begitu". Dari sini sepertinya banyak sekali pihak-pihak yang mendiskreditkan kita sebagai masyarakat sastra. Miris. Di ibu kota memang, pandangan orang-orangnya sangat terkotak oleh gengsi dan nama. Terlebih adanya anggapan bahwa Semarang adalah kuburan bagi seniman. Semarang boleh dianggap unggul untuk pendidikan sastranya, tapi untuk perkembangannya, Semarang bukanlah tempat yang tepat untuk nafas sastra. Ya, beberapa memang dapat dibenarkan, karena melihat pergerakan karya-karya yang lahir di Semarang memang belum bisa jika disejajarkan dengan karya-karya sastra yang muncul di Solo dan Jogjakarta. Dengan keadaan seperti ini, mungkinkah kita sebagai mahasiswa Sastra Indonesia bisa berdiam diri? Bukanlah ucapan pembelaan yang ditunggu, melainkan bukti nyata berupa langkah-langkah kita untuk melahirkan karya sastralah yang sebenarnya diharap. Sehingga bukti ini dapat menyumbat teriakan cemooh publik yang selalu memandang sebelah mata.

Lalu kasus berikutnya muncul, ketika komunitas semacam kita hendak menggelar acara kesenian yang berbau sastra. Sering kita kebingungan untuk menentukan bentuk kesenian apa yang akan ditawarkan di kota Semarang? Musikkah? Teatrikalkah? Ataukah modifikasi dan kolaborasi dari beragam bentuk tersebut? Nah ini jadi perbincangan juga untuk kita. Sejauh mana pasar menginginkan kita berkarya dalam genre apa. Karena pada kenyataannya, Semarang memang tidak memiliki genre favorit yang pentasnya selalu ditunggu-tunggu. Seolah kita berkarya hanya untuk kalangan kita saja. Bukan bermaksud mengharap nama besar, tapi esensinyalah yang menjadikan kita menjadi berguna di masyarakat. Karena dengan sastra kita bisa bersuara, berekspresi muka, dan membuka diri kepada dunia tentang perubahan. Meski demikian kita masih dikatakan, eksistensi yang kini bermunculan tidak ubahnya hanya sekedar pencarian popularitas semata dan hanya mementingkan pemasukan kantong tapi tak jelas pesan apa yang diusung dalam setiap tampilan karya sastra. Kita ini bagai berada di ranah politik, ketika belok-salah, luruspun salah, apalagi balik badan, sungguh langkah yang memalukan.

Lalu ditambah citra diri yang selalu dianggap slengekan. Pasukan anti kemapanan dan golongan pemimpi yang tidak berhenti membual tapi bertameng kreatif muda. Bagaimanakah kita menanggapi label dari masyarakat ini?

Nah Saudara, ini hanya wacana, namun patutlah kita bicarakan secara serius. Sebab, pilihan kita untuk hidup dalam sastra, secara tidak langsung telah menjadikan kita memanggul tongkat kejayaan sastra untuk masa sesudah kita. Wacana-wacana tersebut diharap dapat membawa kita untuk sadar diri akan sejauh mana sastra kita ini dapat menghidupi dirinya sendiri. Artinya, ketika sastra hanya dianggap sebagai pelengkap, sudikah kita dicap demikian? Namun eksistensi seperti apakah yang sebenarnya diharap oleh khalayak. Inilah mula kita harus mulai berpikir mau dibawa kemana sastra kita?